Jumat, 25 Oktober 2013

Kontrak Muzara'ah


MAKALAH
KONTRAK MUZARA’AH
Dosen Pengampu: Zulfatun Ni’mah, M., Hum.



Disusun Oleh :
Kelompok 3
Andik Khoirul Anam      : 3223113008
Ayu Arina Rohmatin      : 3223113020
Citra Mulya Sari            : 3223113024
Dewi Sri Rahayu            : 3223113027

Prodi Perbankan Syariah / Jurusan Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)   TULUNGAGUNG
Tahun Pelajaran 2013-2014




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia, banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan mereka berbeda-beda. Ada yang memiliki lahan dan ada pula yang hanya mengabdikan diri untuk menggarap lahan milik orang lain untuk mendapatkan keuntungan, lebih jelasnya kami akan membahas dalam pembahasan di bab selanjutnya.
B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dimaksud dengan muzara’ah?
2.     Bagaimana dengan dasar hukum muzara’ah
3.     Apa yang termasuk rukun dan syarat dalam muzara’ah?
4.     Apa hak dan kewajiban bagi orang yang melakukan muzara’ah?
5.     Bagaimana aplikasi dan perhitungan bagi hasil muzara’ah?

C.    Tujuan
1.     Mengetahui pengertian dari muzara’ah.
2.     Memahami dasar hukum yang digunakan dalam kegiatan muzara’ah.
3.     Mengetahui syarat dan rukun yang ada di dalam muzara’ah.
4.     Mengetahui hak dan kewajiban yang timbul dari kegiatan muzara’ah
5.     Memahami aplikasi dalam perhitungan bagi hasil dalam muzara’ah.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Muzara’ah
Menurut bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal). Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[1]  “Muzara’ah menurut bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa yang dihasilkan darinya”. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi adalah sebagai berikut:
Menurut Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari pemilik tanah.[2]
Menurut Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga, atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakannya.[3]
Muzara’ahadalahimbangantradisionaldarimudharabahdalambidangpertaniandimanapetanimengambillahanpertanianberdasarkanprinsipbagihasilpanen.Bank-bank menyerahkankepada para petanilahan yang merekamilikiatau yang bukandalampemilikanmereka.Kaplingtanahnyaharusbenar-benarditentukandalamperjanjiandanharusditetapkanuntuksuatuperiodewaktutertentu.Hasildarilahanitudibagidiantara bank danpetanimenurutproporsi yang disepakati.[4] 
Muzara’ahadalahakadkerjasamaataupercampuranpengolahanpertanianantarapemiliklahandenganpenggarapdengan system bagihasilatasdasarhasilpanen.[5]
Jadi muzara’ah menurut bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya. Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.

B.    Dasar Hukum Muzara’ah
Rasulullah s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Raasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman.[6]
Dari beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.

C.    Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut Hanafiah rukun muzara’ah  ialah “akad, yaitu ijab dan kabul antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
Menurut jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
o   Pemilik tanah
o   Petani penggarap
o   Objek muzaraah (lahan yang digarap)
o   Ijab dan qabul secara lisan maupun tulisan
            Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
o   Syarat bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
o   Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja yang ditanam.
o   Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
o   Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas tanah.
o   Hal yang berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
o   Hal yang berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.
Menurut jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
o   Petani bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
o   Biaya pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman, ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian masing-masing.
o   Hasil panen dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
o   Pengairan dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
o   Apabila salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.

D.    HakdanKewajiban para pihakMuzara’ah
Kewajibanpemiliklahan :
1.     Memberikanlahannyauntuk di olahpenggaraplahan.
2.     Memberikanbibit, pupuk, obatdansejenisnyakepadapenggaraplahan.
Hakpemiliklahan :
1.     PemiliklahanberhakuntukmembatalkanakadatautransaksiMuzara’ahjikapenggaraptanahlariatauwanprestasi.
2.     Pemiliklahanberhakuntukmemintagantirugiseperti yang telahdisepakatipadaawalkontrakjikapengolahlahanlalaidalammenjalankanamanahnya.
Kewajibanpenggaraplahan :
1.     Mengolahdanmengelolalahandenganamanahatauhati-hati.
2.     Menggaraptanamansesuaidengankontrak. Misal : padi dan jagung.
3.     Memberikanbagihasildaripenjualanhasilpanensesuaikesepakatanawal.
Hakpenggaraplahan :
1.     Penggaraplahanberhakuntukmenggantikanamanahnyakepadawalinyaapabilaterjadisesuatukepadapenggaraplahan. Missal; kematian.
2.     Penggaraplahanberhakuntukmendapatkanupahataubagihasilseperti yang terterapadaawalakad.

E.    Aplikasi dan Perhitungan Pembagian Hasil
Praktek muzara’ah mengacu pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil akhir menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu petani pemilik sawah dan petani penggarap.
Begitu pula sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa disebut dengan Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan 2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap, atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
Menyangkut pembagian hasil tanah dari perjanjian bagi hasil ini dalam ketentuan hukum Islam ditemukan petunjuk seperti setengah, sepertiga, seperempat atau lebih dari itu atau pula bisa saja lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (pemilik tanah penggarap tanah), sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ فَكَانَ يُعْطِى أَزْوَاجَهُ كَلَّ سَنَةٍ مِائَةَ وَسْقٍ ثَمَانِينَ
Artinya: Dari Ibnu Umar ra katanya, “Rasulullah Saw telah menyawakan kebun kurma dan sawah di desa Khaibar dengan seperdua hasilnya.(Hadits Riwayat Muslim).
عن عبد الله رضي الله عنه قال : أَعْطَى رَسُولُ الله صَلى اللهُ عَلَيْه وَ سَلَّم خَيْبَرَ لِلْيَهُوْد أَنْ يَعْمَلُوْهَا وَيَزْرَعُوْهَا وَلَهُمْ شَطْر مَا يَخْرُج مِنْهَا
Artinya: Dari Abdullah ra, berkata, “Rasulullah Saw memberikan lahan pertanian Kaibar kepada orang-orang yahudi untuk mereka kelola dan tanami, dan bagi mereka separuh hasilnya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
عن أبي إسحاق عن عبد الرحمن بن الأسود قال : كان عماي يزرعان بالثلث والربع وأبي شريكهما وعلقمة والأسود يعلمان فلا يغيران
Artinya: Dari Abu Ishaq dari Abdurrahman ibnu Al-Aswad berkata: “Kedua pamanku dan ayahku pernah menggarap sawah, dengan perjanjian mereka mendapatkan bagian sepertiga atau seperempat. Ketika Al-Qamah dan Al-Aswad tahu, maka keduanya tidak melarang.(H.R. An Nasa’i)
Dari beberapa Hadits di atas bahwa pembagian pendapatan dari hasil kerjasama lahan pertanian (Muzaraah) antara pemilik tanah dan penggarap bisa disepakati dengan  setengah (50% untuk pemilik tanah dan 50% untuk petani penggarap), sepertiga (satu untuk pemilik tanah dan tiga untuk penggarap) atau seperempat (satu untuk pemilik tanah, dan empat untuk penggarap) atau juga bisa kurang atau bisa lebih dari itu, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.
Namun dalam kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil seperti itu tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, kemungkinan besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana kita ketahui semakin hari jumlah tanah pertanian semakin berkurang dan disisi lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya. Dari sini maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap, jadi pengambilan bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
Untuk itu pemakalah mengusulkan supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani penggarap atau sebaliknya dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan ada baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran kepercayaan, dan aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi hasil yang mengikat yang diatur oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini adalah antara petani pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi keuntungan bagi hasil. Sedangkan kejujuran disini dimana  adanya keterbukaan cara pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta kepercayaan artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah pihak.
Sementara aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, Pada tanggal 7 Januari 1960 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil. Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam penjelasan umum poin (3) disebutkan:
“Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:
o   Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
o   Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
o   Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.
Kemudian dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor 714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik.
Besarnya imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai padi yang ditanam ditempatkan oleh Bupati/Walikotamadya.

F.     Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah
Diterapkannya bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan sosial ekonomi, seperti:
o   Adanya rasa saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang bekerjasama.
o    Dapat menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun pemilik tanah.
o   Dapat mengurangi pengangguran.
o   Meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
o   Dapat mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara makro.

G.   Berakhirnya Muzara’ah
Muzara’ah berakhir karena beberapa hal sebagai berikiut:
1.     Jika pekerja melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
2.     Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
3.     Jika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau walinya yang menggantikan posisinya.
4.     Adanya kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.

H.    Ilustrasi Dialog Muzara’ah
P. Pertama      : Assalamualaikum Wr. Wb.
P.Kedua          : Walaikumsalam Wr. Wb. Silahkan masuk, silahkan duduk Ibu!
P. Pertama      : Begini Bu, kedatangan saya kemari mau menawarkan kerjasama.
P. Kedua         : Maksud Ibu kerjasama bagaimana?
P. Pertama      : Kerjasama Muzara’ah.
P.kedua          :Kerjasama Muzara’ah itu kerjasama yang seperti apa?, maaf sebelumnya saya belum begitu faham dengan kerjasama yang akan kita lakukan ini.
P. Pertama : tidak apa – apa buk, begini buk kerjasama muzara’ah ini yakni suatu kerjasama yang mana saya sebagai pemilik tanah memberikan wewenang kepada ibuk untuk menggarap tanah milik saya, yang mana masalah bibit dan juga biaya lain seperti pupuk akan menjadi tanggungan saya pribadi.Luaslahanpertanianini 45m.Ibumenggaraplahaninisatusetengahtahunsajaduludanapabilasayainginmelanjutkanmakakitaakanbuatperpanjangankontrakkembali. Dan dalamwaktusatusetengahtahunitu, sayamenginginkanditanamipadi dan jagung.

P. Kedua        : Jadi seperti itu kerjasama muzara’ah, dan untuk keuntungannya yang akan saya dapat itu bagaimana, apakah saya mendapatkan gaji atau bagaimana mengenai keuntungan?
P. Pertama : Untuk masalah keuntungannya itu sendiri, yang akan ibu terima itu bukanlah gaji dari saya pribadi tetapi seperti bagi hasil. Yakni keuntungan yang didapatkan dari hasil pertanian kita bagi sesuai denga presentase yang telah kita tetapkan.
P. Kedua : Presentase yang ditetapkan? Apakah kita sudah menentapkan presentase?
P. Pertama : Belum, baiklah untuk prosentase keuntungannya 1/3 dari hasil panen untuk saya sendiri, sedangkann 2/3. Jadi misalkan kita mendapatkan keuntungan Rp 20.000.000,00 cara perhitungannya 1/3 x 20.000.000,00 = 6.666.666,66 untuk saya sendiri dan 2/3 x 20.000.000,00 = 13.333.333.32 untu nasabah. Jika di dalam tengah-tengah  nanti ada masalah dan masalah tersebut diakibatkan atau direkayasa Ibu, dalam artian bukan akibat alam maka Ibu berhak mengganti kerugian 75% dari modal seperti pembelian pupuk, biji dsb.Jika terjadi kerugian, maka kerugian tersebut kita tanggung bersama. Tetapi untuk masalah zakat dan pembayaran PBB dari sawah tersebut nanti sudah menjadi tanggungjawab saya pribadi.
P. Kedua         : Baiklah Bu, saya setuju melakukan kerjasama dengan ketentuan seperti yang Ibu jelaskan. Saya juga berterimakasih atas kerjasama yang Ibu percayakan pada diri saya.
P. Pertama      : Iya Ibu, sama – sama. Saya harap kita dapat bekerjasama dengan baik, dan Ibu bisa memulai pengelolaan sawah tersebut mulai besuk. Saya juga mengucapkan terimakasih atas bersedianya ibu bekerjasama dengan saya. Saya pamit pulang dulu.
Assalamualaikm Wr.Wb
P. Kedua         : Baik Bu, sama – sama. Walaikumsalam Wr.Wb

I.      Contoh Kontrak Muzara’ah

AKAD MUZARA’AH

Yang bertanda tangan di bawah ini:
1.                  Nama                          :  Citra Mulya Sari
Umur                           :  30 Tahun
Pekerjaan                     :  Pedagang
Alamat                         : Rt.20.Rw.04 Ds. Ngadimulyo Kec. Kampak       Kab. Trenggalek
Nomer KTP / SIM      :654318996532299765379
Telepon                       : 083888655734
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
2.                  Nama                          :  Dewi Sri Rahayu
Umur                           :  31 Tahun
Pekerjaan                    :  Petani
Alamat                                    Alamat                        :  Rt.05. Rw.03 Ds.Sukorame Kec. Gandusari Kab. Trenggalek
Nomer KTP / SIM       : 222344518876990879754
Telepon                        : 0814007006789
Dalam hal ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut
PIHAK KEDUA

PIHAK  PERTAMA  telah setuju untuk menyerahkan tanah beserta bibitnya kepada  PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA juga telah setuju menerima bibit beserta tanah untuk dikelola yakni digunakan untuk bercocok tanam sesuai yang diamanahkan dari PIHAK PERTAMA, tanah berikut untuk ditanami  20 (Dua puluh) Kg padi dan 15 (lima belas) Kg jagung yang berdiri di atasnya yang terletak di Rt.20 Rw.04 Ds. Ngadimulyo, Kec. Kampak, Kab. Trenggalek dengan luas tanah 45 (Empat Puluh Lima ) meter persegi dengan sertifikat hak milik
Nomer 226765, gambar situasi Nomer  226770, tanggal 31 Oktober 2013.

Selanjutnya kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis dalam  13 (tigabelas) pasal, sebagai berikut:
Pasal Satu
KEWAJIBAN DAN HAK PEMILIK LAHAN
Kewajiban
Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap beserta bibit tanaman kepada pihak yang akan menggarap. Serta membayar zakat dan juga PBB
Hak
1. PemiliklahanberhakuntukmembatalkanakadatautransaksiMuzara’ahjikapenggaraptanahlariatauwanprestasi.
2.     Pemiliklahanberhakuntukmemintagantirugiseperti yang telahdisepakatipadaawalkontrakjikapengolahlahanlalaidalammenjalankanamanahnya.

Pasal Dua
KEWAJIBAN DAN HAK PENGGARAP LAHAN
Kewajiban
1. PIHAK KEDUA  menggarap lahan yang diterimanya denganamanahdan hati-hati.
2. Menanam tanaman padi dan jagung selama satu setengah tahun
3. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.
Hak
1. Penggaraplahanberhakuntukmenggantikanamanahnyakepadawalinyaapabilaterjadisesuatukepadapenggaraplahan.Missal; kematian.
2.     Penggaraplahanberhakuntukmendapatkanupahataubagihasilseperti yang terterapadaawalakad.

Pasal Tiga
PENYERAHAN DAN/ATAU PENGALIHAN KONTRAK
1.Sebelum jangka waktu kontrak seperti yang tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini berakhir,  PIHAK  PERTAMA  tidak dibenarkan  meminta  PIHAK KEDUA  untuk mengakhiri jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali lahan tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2.Selama jangka waktu berlakunya Surat Kontrak ini,  PIHAK KEDUA  sama sekali tidak dibenarkan untuk mengalihkan hak kepada PIHAK KETIGA  dengan dalih atau alasan apa pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK PERTAMA.

Pasal Empat
PENYERAHAN BARANG HASIL PANEN

Pasal lima
KEUNTUNGAN
Keuntungan yang akan diterima PIHAK KEDUA sebesar 2/3 dari pendapatan dan PIHAK PERTAMA 1/3 dari pendapatan


Pasal Enam
WANPRESTASI
Apabila PIHAK KEDUA melakukan wanprestasi, maka PIHAK KEDUA  bertanggung jawab atas masalah yang diakibatkan atau direkayasa PIHAK KEDUA, dalam artian bukan akibat alam maka PIHAK KEDUA berhak mengganti kerugian 75% dari modal seperti pembelian pupuk, biji, dsb.
Pasal Tujuh
FORCE MAJEUR
1.  PIHAK PERTAMA  bertanggung jawab seluruhnya akibat dari kerusakan maupun kerugian yang disebabkan seperti gagal panen karena adanya banjir, gempa bumi, tanah longsor, petir, angin topan, kebakaran, huru-hara, hama sawah atau ladang.
2. PIHAK KEDUA  dibebaskan dari segala ganti rugi atau tuntutan dari  PIHAK PERTAMA  yang terjadi akibat darikerusakan dalam kerjasamanyyang diakibatkan oleh force majeure.
Pasal Delapan
PERKIRAAN HASIL PANEN
Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad muzara’ah mutlak.

Pasal Sembilan
AHLI WARIS
(1) Penggarap berhak melanjutkan akad muzara’ah jika tanamannya belum layak dipanen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.
(2) Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerjasama muzara’ah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.

PasalSepuluh
KEBERLANJUTAN KONTRAK
1.Apabila  PIHAK PERTAMA  dan  PIHAK KEDUA  bermaksud melanjutkan perjanjian kontrak, maka masing-masing pihak harus memberitahukan terlebih dahulu minimal 2 (Dua) bulan sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
2.PIHAK KEDUA  mendapat prioritas pertama dari  PIHAK PERTAMA  untuk
memperpanjang masa penyewaan berikutnya sebelum  PIHAK PERTAMA
menawarkan kepada calon-calon penyewa lainnya.
Pasal Sebelas
ANTISIPASI SENGKETA
PIHAK PERTAMA  dan  PIHAK KEDUA  bersepakat untuk menempuh jalan musyawarah dan mufakat untuk menyelesaikan hal-hal atau perselisihan yang mungkin timbul sehubungan dengan Perjanjian ini. Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan penyelesaian yang melegakan kedua belah pihak, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili pada Pengadilan Agama Trenggalek.
.
Pasal Duabelas
JANGKA WAKTU
Surat Perjanjian ini ditandatangani di Trenggalek pada hari Rabu, 1 November 2013 dan berlaku mulai tanggal tersebut sampai dengan tanggal 30 April 2015.

Pasal Tigabelas
PENUTUP
Apabilaadapenambahanataukesalahandalamkontrak ini akandibicarakan dan diperbaharuidikemudianhari.

PIHAK PERTAMA




Citra Mulya Sari
PIHAK KEDUA




Dewi Sri Rahayu

SAKSI 1




Ayu Arina Rohmatin
SAKSI 2




Andik Khoirul Anam



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapatkan sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemilik tanah memberi hak mmengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Dalam penetapan bagi hasil sering kali merugikan pihak pengelola atau petani karena petani dalam posisi ini berada dalam posisi yang lemah, maka dari itu perlu adanya kesadaran dari salah satu pihak terutama pihak pemilik tanah yang mana tujuan dari muzara’ah ini salah satunya yakni tolong menolong bukan untuk memperbudak seseorang demi mendapatkan keuntungan yang besar bagi dirinya sendiri atau pemilik tanah.

B.    Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil wawasannya dalam penulisan ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan kami perhatikan. Semoga makah ini bermanfaat. Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Lewis Mervvyn dan Algaoud latifa. Perbankan Syariah. PT.SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI. Jakarta : 2005.
Pasaribu, Chairuman, K.Lubis, Suhrawardi, Perjanjian Dalam Islam, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, cet. Ke-6, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Zulkifli Sunarto.. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim Jakarta Timur  Juli 2003.





[1] Abdurrahman al-jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm,1.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm 153-155.
[3] Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).
[4] Lewis Mervvyn dan Algaoud latifa. Perbankan Syariah. PT.Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI. Jakarta : 2005, hlm.81
[5] Zulkifli Sunarto.. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim Jakarta Timur  Juli 2003, hlm 56
[6] Ibid.

17 komentar:

  1. pertanyaan saya apakah yang memiliki tanah dan yang mengelola tanah ini sudah cakap hukum????
    karena belum ada yang menunjukkan bahwasanya antara pihak pertama dan pihak kedua itu cakap hukum,

    BalasHapus
  2. Makalah yang disajikan sudah cukup jelas dan bisa dimengerti. Lanjutkan dan tetap berusaha untuk menjadi yang lebih baik lagi. Makasieee... :)

    BalasHapus
  3. saya ingin bertanya kepada kelompok 3 tentang kontrak perjanjian pada pasal 6 yang terkait pembagian bagi hasil. mengapa pada kontrak tidak dijelaskan secara jelas berapa prosentase yang didapat oleh masing-masing pihak yang melakukan perjanjian tersebut? bukankah pencantuman tersebut akan memperjelas berapa hasil yang akan mereka peroleh dikemudian hari.

    BalasHapus
  4. makalahnya cukup jelas, tapi ada yang saya kurang jelas dan saya ingin bertanya tentang "Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk mendapatkan penyelesaian yang melegakan kedua belah pihak, kedua belah pihak bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili pada Pengadilan Negeri Trenggalek."
    Memilih domisili pada Pengadilan Negeri Trenggalek, maksudnya bagaimana? thanks

    BalasHapus
  5. Mau kritik sedikit tentang awal kontrak... masalahnya saya tidak mengerti format surat perjanjian muzaraah,

    PIHAK PERTAMA telah setuju untuk menyerahkan tanah beserta bibitnya kepada PIHAK KEDUA dan PIHAK KEDUA juga telah setuju menerima bibit beserta tanah yang diamanahkan dari PIHAK PERTAMA, tanah berikut untuk ditanami 20 (Dua puluh) Kg padi yang berdiri di atasnya yang terletak di Rt.20 Rw.04 Ds. Ngadimulyo, Kec. Kampak, Kab. Trenggalek dengan luas tanah 45 (Empat Puluh Lima ) meter persegi dengan sertifikat hak milik
    Nomer 226765, gambar situasi Nomer 226770, tanggal 31 Oktober 2013.

    Selanjutnya kedua belah pihak telah bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis dalam 12 (dua belas) pasal, sebagai berikut:


    Makalah anda baek. Dalam kontrak perjanjian awalnya itu, Logika saya kok sulit untuk menerimanya, disini hal pertama yang anda tulis kok serah – menyerahkan, bukan kesepakatannya??? Apa ya memang seperti ini benarnya?? Kalau emang begini asumsi saya kok jadi serah menyerahkan barang… DAN pihak KEDUA tidak jelas di suruh ngapain?????? Cuma di suruh menerima bibit beserta tanah kan??? Tidak anda jelaskan siapa yang menanami???? Seharusnya mungkin gini enaknya, DAN PIHAK KEDUA telah sepakat untuk mengolah dan menanami sawah PIHAK PERTAMA..

    BalasHapus
  6. pemakalah menyebutkan bahwa bagi hasil muzaraah menurut orang jawa ada tiga yang telah di jelaskan di atas. pertanyaan saya bagaimana atau kapan seorang pemilik ladang tersebut menggunakann bagi hasil ketiga jenis tersebut ???

    BalasHapus
  7. dari isi makalah diatas, pemakalah menyebutkan bahwa pihak penggarap sawah mengalami diskriminasi, atas dasar apa anda menyebutkan pihak penggarap mengalami diskriminasi? padahal pada kenyataannya banyak sekali orang yang mau menggarap sawah milik orang lain. sedangkan dalam makalah juga disebutkan bahwa pihak penggarap sawah mendapat 2/3 bagian dan pemilik sawah mendapat 1/3 bagian. dijelaskan yaaaaa....

    BalasHapus
  8. Mengenai rukun muzara'ah yang dijelaskan diatas, salah satunya mengenai alat-alat untuk menanam.
    Bagaimana jika alat-alat untuk menanam itu kita meminjam dari orang lain dalam artian pihak penggarap dan pemilik lahan tidak memiliki alat-alat untuk menanam ? Bagaimana untuk pembagian hasilnya dan siapa yang berhak membayar sewa alat-alat untuk menanam itu menurut pembagian muzara'ah sendiri ?
    Dan untuk saran saya mau menambahkan mengenai ilustrasi dialog muzara'ah seharusnya lebih lengkap dan jelas untuk penjelasannya.
    Contoh : dalam waktu satu setengah tahun itu, pihak pemilik sawah menginginkan ditanami padi saja.
    Seharusnya pihak pemilik sawah juga menjelaskan jika pada waktu atau bulan tertentu tidak dapat ditanami padi karena terjadi perubahan cuaca yang tidak terduga atau kurangnya pengairan untuk mengairi padi karena tidak mungkin sselama satu setengah tahun itu bisa ditanami pada oterus menerus, pihak pemilik lahan bisa menggantinya dengan menanami jagung, delai, tomat, dll.
    Terima kasih......

    BalasHapus
  9. saya masii bingung dengan makalah anda
    apakah muzaro'ah sama mudharabah itu sama?kog kayaknya mirip gitu yaa, sama2 bagi hasilnya gitu

    BalasHapus
  10. menurut saya makalahnya sudah cukup bisa dipahami,tetapi yang mau saya tanyakan adalah pada kenyataannya sebagian kontrak muzara'ah ini biasanya tidak tertulis, nah biasanya kalau tidak ada hitam diatas putih kontraknya tersebut tidak sesuai dengan prosedurnya,,bagaimana anda menanggapinya?sekian trimakasiih.

    BalasHapus
  11. makalah yang anda sasjikan sudah cukup jelas, namun ada yang ingin saya tanyakan mengenai hak pemeilik lahan, di sini Pemilik lahan berhak untuk meminta ganti rugi seperti yang telah disepakati pada awal kontrak jika pengolah lahan lalai dalam menjalankan amanahnya. yang saya tanyakan, disini lalai yang bagaimana? makasih

    BalasHapus
  12. Jika sudah waktunya panen tanaman tersebut terkena hama (wereng),sehingga menyebabkan hasil pertanianya sedikit ,nah yang saya tanyakan bagaimanakah cara pembagian hasil panen tersebut,apakah jga tetap memakai dari kesepakatan semula.tolong anda jelaskan....trimakash

    BalasHapus
  13. makalah yang anda sajikan sudah cukup jelas yang ingin saya tanyakan bagaimana jika terjadi suatu sengketa dalam perjanjian muzara'ah tersebut apa bisa diselesaikan menurut perjanjian akad ya saja atau diajukan kedalam sebuah persidangan secara hukum tolong anda jelaskan cukup sekian trimaksih...,,

    BalasHapus
  14. yang saya tanyakan bagaimana jika salah satu pihak melakukan kecurangan misalnya tidak melakukan persyaratan yang telah diperjanjikan diawal?
    trimakasiihh

    BalasHapus
  15. makalah yang disajikan cukup dapat difahami tetapi saya akan menanyakan apa saja resiko - resiko serta kelebihan pada akad muzara'ah itu sendiri?

    BalasHapus
  16. yang ingin saya tanyakan yaitu mengenai berakhirnya muzara'ah itu kan tertulis Pekerja tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan pekerjaan.
    trus apakah pekerja yang sudah tidak mampu bekerja tersebut tetap mendapatkan upah, karena kan dia sudah melakukan pekerjaanya itu namun belum sampai selesai \panen dia sudah tidak mampu melakukan pekerjaannya itu dan digantikan orang lain

    BalasHapus
  17. Makalah yang disajikan kelompok 3 sudah cukup jelas dan dapat dimengerti
    sekian terima kasih.........................

    BalasHapus