MAKALAH
KONTRAK
MUZARA’AH
Dosen
Pengampu: Zulfatun Ni’mah, M., Hum.

Disusun Oleh :
Kelompok 3
Andik Khoirul Anam :
3223113008
Ayu Arina Rohmatin :
3223113020
Citra Mulya Sari :
3223113024
Dewi Sri Rahayu :
3223113027
Prodi Perbankan
Syariah / Jurusan Syariah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) TULUNGAGUNG
Tahun Pelajaran 2013-2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bekerja merupakan suatu kewajiban bagi setiap manusia,
banyak sektor-sektor pekerjaan yang bisa kita lakukan salah satunya adalah pada
sektor pertanian. Masyarakat pedesaan yang pada umumnya hanya
menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dimana taraf kesejahteraan
mereka berbeda-beda. Ada yang memiliki lahan dan ada pula yang hanya
mengabdikan diri untuk menggarap lahan milik orang lain untuk mendapatkan
keuntungan, lebih jelasnya kami akan membahas dalam pembahasan di bab
selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan
muzara’ah?
2. Bagaimana dengan dasar hukum
muzara’ah
3. Apa yang termasuk rukun dan
syarat dalam muzara’ah?
4. Apa hak dan kewajiban bagi
orang yang melakukan muzara’ah?
5. Bagaimana aplikasi dan
perhitungan bagi hasil muzara’ah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari
muzara’ah.
2. Memahami dasar hukum yang
digunakan dalam kegiatan muzara’ah.
3. Mengetahui syarat dan rukun
yang ada di dalam muzara’ah.
4. Mengetahui hak dan kewajiban
yang timbul dari kegiatan muzara’ah
5. Memahami aplikasi dalam
perhitungan bagi hasil dalam muzara’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muzara’ah
Menurut
bahasa al-muzara’ah memiliki dua arti, pertama adalah tharh
al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah al-hadzar (modal).
Makna yang pertama adalah makna majas dan makna yang kedua ialah makna hakiki.[1] “Muzara’ah menurut
bahasa adalah muamalah terhadap tanah dengan (imbalan) sebagian apa
yang dihasilkan darinya”. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah memberikan
tanah kepada orang yang akan menggarapnya dengan imbalan ia memperoleh setengah
dari hasilnya atau yang sejenisnya.
Menurut
istilah muzara’ah didefiniskan oleh para ulama seperti yang
dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Jaziri, yang dikutif oleh Hendi Suhendi
adalah sebagai berikut:
Menurut
Hanafiah muzara’ah ialah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian
yang keluar dari bumi. Menurut Hambaliah muzara’ah adalah pemilik
tanah yang sebenarnya menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi
bibit. Menurut al-Syafi’i berpendapat bahwa muzara’ah adalah seorang
pekerja menyewa tanah dengan apa yang dihasilkan dari tanah tersebut. Dan
menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri bahwa muzara’ah adalah pekerja
mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal dari
pemilik tanah.[2]
Menurut
Sulaiman Rasyid, muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain)
seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik
tanah. Sementara mukhabarah adalah mengerjakan tanah (orang lain)
seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga,
atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang
mengerjakannya.[3]
Muzara’ahadalahimbangantradisionaldarimudharabahdalambidangpertaniandimanapetanimengambillahanpertanianberdasarkanprinsipbagihasilpanen.Bank-bank
menyerahkankepada para petanilahan yang merekamilikiatau yang
bukandalampemilikanmereka.Kaplingtanahnyaharusbenar-benarditentukandalamperjanjiandanharusditetapkanuntuksuatuperiodewaktutertentu.Hasildarilahanitudibagidiantara
bank danpetanimenurutproporsi yang disepakati.[4]
Muzara’ahadalahakadkerjasamaataupercampuranpengolahanpertanianantarapemiliklahandenganpenggarapdengan
system bagihasilatasdasarhasilpanen.[5]
Jadi muzara’ah menurut
bahasa berarti muamalah atas tanah dengan sebagian yang keluar sebagian
darinya. Dan secara istilah muzara’ah berarti kerjasama antara
pemilik lahan dengan petani penggarap dimana pemilik lahan memberikan tanah
kepada petani untuk digarap agar dia mendapatkan bagian dari hasil tanamannya.
Misalnya seperdua, sepertiga, lebih banyak atau lebiih sedikit daripada itu.
B.
Dasar Hukum Muzara’ah
Rasulullah
s.a.w. bersabda sebagai berikut:
عن أبي هريرة
رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم (من كانت له أرض فليزرعها
أو ليمنحها أخاه فإن أبى فليمسك أرضه )
Artinya: “Dari
Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Rasulullah Saw (barangsiapa yang
memiliki tanah maka hendaklah ditanami atau diberikan faedahnya kepada
saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah itu.” (Hadits
Riwayat Muslim)
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعُهَا فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا
فَلْيَزْرَعْهَا أَخَاهُ
Artinya:“Barang
siapa yang mempunyai tanah, hendaklah ia menanaminya atau hendaklah ia menyuruh
saudaranya untuk menanaminya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar bahwa Raasulullah SAW pernah memberikan tanah Khaibar kepada
penduduknya untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan
tanaman.[6]
Dari
beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim di atas, bahwa bagi
hasil dengan sistem muzara’ah itu dibolehkan.
C.
Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut
Hanafiah rukun muzara’ah ialah “akad, yaitu ijab dan kabul
antara pemilik dan pekerja, secara rinci rukun-rukunya yaitu tanah, perbuatan
pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam”.
Menurut
jamhur ulama ada empat rukun dalam muzara’ah:
o
Pemilik
tanah
o
Petani
penggarap
o
Objek
muzaraah (lahan yang digarap)
o
Ijab dan
qabul secara lisan maupun tulisan
Sementara syarat-syaratnya sebagai berikut:
o
Syarat
bertalian dengan ‘aqidain, yaitu harus berakal.
o
Syarat yang
berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan adanya penentuan macam apa saja
yang ditanam.
o
Hal yang
berkaitan dengan perolehan hasil tanaman, yaitu bagian masing-masing harus
disebutkan jumlahnya (persentasenya), hasil adalah milik bersama.
o
Hal yang
berhubungan dengan tanah yang akan ditanami seperti lokasi tanah dan batas
tanah.
o
Hal yang
berkaitan dengan waktu dan syarat-syaratnya.
o
Hal yang
berkaitan dengan alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam muzara’ah.
Menurut
jumhur ulama (yang membolehkan akad muzara’ah) apabila akad telah memenuhi
rukun dan syarat, maka akibat hukumnya adalah:
o
Petani
bertanggung jawab mengeluarkan biaya benih dan pemeliharaan pertanian tersebut
o
Biaya
pertanian seperti pupuk, biaya perairan, serta biaya pembersihan tanaman,
ditanggung oleh petani dan pemilik lahan sesuai dengan persentase bagian
masing-masing.
o
Hasil panen
dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
o
Pengairan
dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan bersama dan apabila tidak ada
kesepakatan, berlaku kebiasaan ditempat masing-masing.
o
Apabila
salah seorang meninggal dunia sebelum panen, maka akad tetap berlaku sampai
panen dan yang meninggal diwakili oleh ahli warisnya. Lebih lanjut, akad itu
dapat dipertimbangkan oleh ahli waris, apakah akan diteruskan atau tidak.
D. HakdanKewajiban para pihakMuzara’ah
Kewajibanpemiliklahan
:
1. Memberikanlahannyauntuk di
olahpenggaraplahan.
2. Memberikanbibit, pupuk,
obatdansejenisnyakepadapenggaraplahan.
Hakpemiliklahan :
1. PemiliklahanberhakuntukmembatalkanakadatautransaksiMuzara’ahjikapenggaraptanahlariatauwanprestasi.
2. Pemiliklahanberhakuntukmemintagantirugiseperti
yang
telahdisepakatipadaawalkontrakjikapengolahlahanlalaidalammenjalankanamanahnya.
Kewajibanpenggaraplahan :
1. Mengolahdanmengelolalahandenganamanahatauhati-hati.
2. Menggaraptanamansesuaidengankontrak. Misal :
padi dan jagung.
3. Memberikanbagihasildaripenjualanhasilpanensesuaikesepakatanawal.
Hakpenggaraplahan :
1. Penggaraplahanberhakuntukmenggantikanamanahnyakepadawalinyaapabilaterjadisesuatukepadapenggaraplahan.
Missal; kematian.
2. Penggaraplahanberhakuntukmendapatkanupahataubagihasilseperti
yang terterapadaawalakad.
E.
Aplikasi dan Perhitungan Pembagian Hasil
Praktek muzara’ah mengacu
pada prinsip Profit and Loss Sharing System. Dimana hasil akhir
menjadi patokan dalam praktek muzara’ah. Jika, hasil pertaniannya
mengalami keuntungan, maka keuntunganya dibagi antara kedua belah pihak, yaitu
petani pemilik sawah dan petani penggarap.
Begitu pula
sebaliknya, jika hasil pertaniannya mengalami kerugian, maka kerugiannya
ditanggung bersama. Dalam prakteknya, muzara’ah sudah menjadi tradisi
masyarakat petani di pedesaan. Khususnya di tanah Jawa, praktek ini biasa
disebut dengan Maro, Mertelu dan Mrapat. Maro dapat
dipahami keuntungan yang dibagi separo-separo (1/2:1/2), artinya separo untuk
petani pemilik sawah dan separo untuk petani penggarap. Jika mengambil
perhitungan mertelu, berarti nisbah bagi hasilnya adalah 1/3 dan
2/3. Bisa jadi 1/3 untuk petani pemilik sawah dan 2/3 untuk petani penggarap,
atau sebaliknya sesuai, dengan kesepakatan antara keduanya.
Menyangkut
pembagian hasil tanah dari perjanjian bagi hasil ini dalam ketentuan hukum
Islam ditemukan petunjuk seperti setengah, sepertiga, seperempat atau lebih
dari itu atau pula bisa saja lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak (pemilik tanah penggarap tanah), sebagaimana hadits di bawah ini:
عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَعْطَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- خَيْبَرَ بِشَطْرِ مَا يَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ فَكَانَ يُعْطِى
أَزْوَاجَهُ كَلَّ سَنَةٍ مِائَةَ وَسْقٍ ثَمَانِينَ
Artinya: Dari
Ibnu Umar ra katanya, “Rasulullah Saw telah menyawakan kebun kurma dan sawah di
desa Khaibar dengan seperdua hasilnya.(Hadits Riwayat Muslim).
عن عبد الله رضي الله عنه قال : أَعْطَى رَسُولُ الله صَلى اللهُ عَلَيْه وَ
سَلَّم خَيْبَرَ لِلْيَهُوْد أَنْ يَعْمَلُوْهَا وَيَزْرَعُوْهَا وَلَهُمْ شَطْر
مَا يَخْرُج مِنْهَا
Artinya: Dari
Abdullah ra, berkata, “Rasulullah Saw memberikan lahan pertanian Kaibar kepada
orang-orang yahudi untuk mereka kelola dan tanami, dan bagi mereka separuh
hasilnya.” (Hadits Riwayat Bukhari)
عن أبي إسحاق
عن عبد الرحمن بن الأسود قال : كان عماي يزرعان بالثلث والربع وأبي شريكهما وعلقمة
والأسود يعلمان فلا يغيران
Artinya: Dari
Abu Ishaq dari Abdurrahman ibnu Al-Aswad berkata: “Kedua pamanku dan ayahku
pernah menggarap sawah, dengan perjanjian mereka mendapatkan bagian sepertiga
atau seperempat. Ketika Al-Qamah dan Al-Aswad tahu, maka keduanya tidak
melarang.(H.R. An Nasa’i)
Dari
beberapa Hadits di atas bahwa pembagian pendapatan dari hasil kerjasama lahan
pertanian (Muzaraah) antara pemilik tanah dan penggarap bisa disepakati
dengan setengah (50% untuk pemilik tanah dan 50% untuk petani
penggarap), sepertiga (satu untuk pemilik tanah dan tiga untuk penggarap) atau
seperempat (satu untuk pemilik tanah, dan empat untuk penggarap) atau juga bisa
kurang atau bisa lebih dari itu, tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak.
Namun dalam
kondisi masyarakat sekarang dan yang akan datang, pembagian hasil seperti itu
tentunya sangat tidak memungkinkan, sebab kalau pembagian hasil tersebut hanya
diserahkan kepada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap tanah,
kemungkinan besar pihak penggarap akan dirugikan, sebab penggarap berada di
posisi yang lemah, karena sangat tergantung kepada pemilik tanah, sebagaimana
kita ketahui semakin hari jumlah tanah pertanian semakin berkurang dan disisi
lain jumlah petani penggarap semangkin bertambah banyak jumlahnya. Dari sini
maka akan terjadi persaingan antara sesama petani penggarap, jadi pengambilan
bagi hasil yang tersebut dapat menguntungkan pemilik tanah.
Untuk itu
pemakalah mengusulkan supaya tidak terjadi diskriminasi terhadap petani
penggarap atau sebaliknya dan tidak terjadinya manipulasi dari hasil yang
diperoleh oleh petani penggarap terhadap pemilik tanah atau supaya tidak
menimbulkan pertentangan antara petani penggarap dengan pemilik lahan ada
baiknya kesepakatan itu dilandasi dengan prinsip keadilan, kejujuran
kepercayaan, dan aturan-aturan teknis maupun non teknis baik mekanisme bagi
hasil yang mengikat yang diatur oleh pemerintah. Keadilan maksudnya disini
adalah antara petani pengggarap dengan pemilik lahan tidak merasa keberatan dan
dirugikan baik dari segi pengelolaan maupun dari segi keuntungan bagi hasil.
Sedangkan kejujuran disini dimana adanya keterbukaan cara
pengelolaan, jenis tanaman yang ditanam, dan jumlah hasil yang didapat, serta
kepercayaan artinya tidak saling mencurigai dan menyalahkan antara kedua belah
pihak.
Sementara
aturan yang mengikat khususnya di Indonesia, Pada tanggal 7 Januari 1960 telah
diundangkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil.
Adapun yang menjadi tujuan utama lahirnya undang-undang ini sebagaimana
dikemukakan dalam memori penjelasan undang-undang itu, khususnya dalam
penjelasan umum poin (3) disebutkan:
“Dalam
rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap
praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat
sebagaimana halnya dengan perjanjian bagi hasil yang diuraikan di atas, maka
dalam bidang agraria diadakanlah undang-undang ini, yang bertujuan mengatur
perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud”:
o
Agar
pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang
adil.
o
Dengan menegaskan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula
kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian
bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya
tanah yang tersedia tidak banyak, sedangkan jumlah orang yang ingin menjadi
penggarapnya adalah sangat besar.
o
Dengan
terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b di atas, maka akan bertambah
bergembiralah para petani penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pula pada
produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam
melaksanakan program akan melengkapi “sandang pangan” rakyat.
Kemudian
dalam rangka perimbangan bagi hasil yang sebaik-baiknya antara kepentingan
masing-masing pihak pemilik tanah dan penggarap telah dikeluarkan keputusan
bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211/1980 dan Nomor
714/Kpts/Um/9/1980 yang menjelaskan perimbangan hak antara pemilik tanah dan
penggarap, yang mana dalam keputusan tersebut di atas dikemukakan pada poin
kedua menetapkan sebagai berikut: Besarnya imbangan bagian hasil tanah yang
menjadi hak penggarap dan pemilik.
Besarnya
imbangan bagi hasil tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik sebagaimana
yang dimaksud dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 sepanjang mengenai
padi yang ditanam ditempatkan oleh Bupati/Walikotamadya.
F.
Implikasi atau Dampak dari Sistem Muzara’ah
Diterapkannya
bagi hasil sistem muzara’ah berdampak pada sektor pertumbuhan
sosial ekonomi, seperti:
o
Adanya rasa
saling tolong-menolong atau saling membutuhkan antara pihak-pihak yang
bekerjasama.
o
Dapat
menambah atau meningkatkan penghasilan atau ekonomi petani penggarap maupun
pemilik tanah.
o
Dapat
mengurangi pengangguran.
o
Meningkatkan
produksi pertanian dalam negeri.
o
Dapat
mendorong pengembangan sektor riil yang menopong pertumbuhan ekonomi secara
makro.
G.
Berakhirnya Muzara’ah
Muzara’ah berakhir
karena beberapa hal sebagai berikiut:
1.
Jika pekerja
melarikan diri, dalam kasus ini pemilik tanah boleh membatalkan transaksi
berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya sebagai transaksi boleh (tidak
mengikat). Jika berdasarkan pendapat yang mengkategorikannya transaksi yang
mengikat, seorang hakim memperkerjakan orang lain yang menggantikannya.
2.
Pekerja
tidak mampu bekerja. Dalam hal ini, pemilik lahan boleh memperkerjakan orang
lain yang menggantikannya dan upah menjadi haknya karena ia mengerjakan
pekerjaan.
3.
Jika salah
satu dari pihak meninggal dunia atau gila, berdasarkan pendapat yang
mengkategorikannya sebagai transaksi yang mengikat, maka ahli waris atau
walinya yang menggantikan posisinya.
4.
Adanya
kesepakatan kedua belah pihak untuk mengakhiri dengan kerelaan.
H.
Ilustrasi Dialog Muzara’ah
P. Pertama
: Assalamualaikum Wr. Wb.
P.Kedua
: Walaikumsalam Wr. Wb. Silahkan masuk, silahkan duduk Ibu!
P. Pertama
: Begini Bu, kedatangan saya kemari mau menawarkan kerjasama.
P. Kedua
: Maksud Ibu kerjasama bagaimana?
P. Pertama
: Kerjasama Muzara’ah.
P.kedua :Kerjasama Muzara’ah itu kerjasama
yang seperti apa?, maaf sebelumnya saya belum begitu faham dengan kerjasama
yang akan kita lakukan ini.
P. Pertama : tidak apa
– apa buk, begini buk kerjasama muzara’ah ini yakni suatu kerjasama yang mana saya
sebagai pemilik tanah memberikan wewenang kepada ibuk untuk menggarap tanah
milik saya, yang mana masalah bibit dan juga biaya lain seperti pupuk akan
menjadi tanggungan saya pribadi.Luaslahanpertanianini
45m.Ibumenggaraplahaninisatusetengahtahunsajaduludanapabilasayainginmelanjutkanmakakitaakanbuatperpanjangankontrakkembali.
Dan dalamwaktusatusetengahtahunitu, sayamenginginkanditanamipadi dan jagung.
P. Kedua : Jadi seperti itu kerjasama muzara’ah,
dan untuk keuntungannya yang akan saya dapat itu bagaimana, apakah saya mendapatkan
gaji atau bagaimana mengenai keuntungan?
P. Pertama : Untuk
masalah keuntungannya itu sendiri, yang akan ibu terima itu bukanlah gaji dari
saya pribadi tetapi seperti bagi hasil. Yakni keuntungan yang didapatkan dari
hasil pertanian kita bagi sesuai denga presentase yang telah kita tetapkan.
P. Kedua :
Presentase yang ditetapkan? Apakah kita sudah menentapkan presentase?
P. Pertama : Belum,
baiklah untuk prosentase keuntungannya 1/3 dari hasil panen untuk saya sendiri,
sedangkann 2/3. Jadi misalkan kita mendapatkan keuntungan Rp 20.000.000,00 cara
perhitungannya 1/3 x 20.000.000,00 = 6.666.666,66 untuk saya sendiri dan 2/3 x
20.000.000,00 = 13.333.333.32 untu nasabah. Jika di dalam tengah-tengah
nanti ada masalah dan masalah tersebut diakibatkan atau direkayasa Ibu, dalam
artian bukan akibat alam maka Ibu berhak mengganti kerugian 75% dari modal
seperti pembelian pupuk, biji dsb.Jika terjadi kerugian, maka kerugian tersebut
kita tanggung bersama. Tetapi untuk masalah zakat dan pembayaran PBB dari sawah
tersebut nanti sudah menjadi tanggungjawab saya pribadi.
P. Kedua
: Baiklah Bu, saya setuju melakukan kerjasama dengan ketentuan seperti yang Ibu
jelaskan. Saya juga berterimakasih atas kerjasama yang Ibu percayakan pada diri
saya.
P. Pertama
: Iya Ibu, sama – sama. Saya harap kita dapat bekerjasama dengan baik, dan Ibu
bisa memulai pengelolaan sawah tersebut mulai besuk. Saya juga mengucapkan
terimakasih atas bersedianya ibu bekerjasama dengan saya. Saya pamit pulang
dulu.
Assalamualaikm
Wr.Wb
P. Kedua
: Baik Bu, sama – sama. Walaikumsalam Wr.Wb
I.
Contoh Kontrak Muzara’ah
AKAD
MUZARA’AH
Yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama
:
Citra Mulya Sari
Umur
: 30 Tahun
Pekerjaan
: Pedagang
Alamat
:
Rt.20.Rw.04 Ds. Ngadimulyo Kec. Kampak Kab.
Trenggalek
Nomer KTP / SIM
:654318996532299765379
Telepon
:
083888655734
Dalam hal
ini bertindak atas nama diri pribadi yang selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA
2.
Nama
: Dewi
Sri Rahayu
Umur
: 31
Tahun
Pekerjaan
:
Petani
Alamat
Alamat : Rt.05. Rw.03 Ds.Sukorame
Kec. Gandusari Kab. Trenggalek
Nomer KTP / SIM
: 222344518876990879754
Telepon
: 0814007006789
Dalam hal ini bertindak atas nama
diri pribadi yang selanjutnya disebut
PIHAK KEDUA
PIHAK PERTAMA telah
setuju untuk menyerahkan tanah beserta bibitnya kepada PIHAK KEDUA dan
PIHAK KEDUA juga telah setuju menerima bibit beserta tanah untuk dikelola yakni
digunakan untuk bercocok tanam sesuai yang diamanahkan dari PIHAK PERTAMA,
tanah berikut untuk ditanami 20 (Dua puluh) Kg padi dan 15 (lima belas)
Kg jagung yang berdiri di atasnya yang terletak di Rt.20 Rw.04 Ds. Ngadimulyo,
Kec. Kampak, Kab. Trenggalek dengan luas tanah 45 (Empat Puluh Lima ) meter
persegi dengan sertifikat hak milik
Nomer 226765, gambar situasi Nomer
226770, tanggal 31 Oktober 2013.
Selanjutnya kedua belah pihak telah
bersepakat untuk mengadakan perjanjian yang tertulis dalam 13 (tigabelas) pasal, sebagai berikut:
Pasal Satu
KEWAJIBAN DAN
HAK PEMILIK LAHAN
Kewajiban
Pemilik
lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap beserta bibit tanaman kepada
pihak yang akan menggarap. Serta membayar zakat dan juga PBB
Hak
1. PemiliklahanberhakuntukmembatalkanakadatautransaksiMuzara’ahjikapenggaraptanahlariatauwanprestasi.
2. Pemiliklahanberhakuntukmemintagantirugiseperti
yang
telahdisepakatipadaawalkontrakjikapengolahlahanlalaidalammenjalankanamanahnya.
Pasal Dua
KEWAJIBAN DAN
HAK PENGGARAP LAHAN
Kewajiban
1. PIHAK
KEDUA menggarap lahan yang diterimanya denganamanahdan hati-hati.
2. Menanam tanaman padi dan jagung
selama satu setengah tahun
3. Penggarap
wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan yang
dilakukannya menghasilkan keuntungan.
Hak
1. Penggaraplahanberhakuntukmenggantikanamanahnyakepadawalinyaapabilaterjadisesuatukepadapenggaraplahan.Missal;
kematian.
2. Penggaraplahanberhakuntukmendapatkanupahataubagihasilseperti
yang terterapadaawalakad.
Pasal Tiga
PENYERAHAN
DAN/ATAU PENGALIHAN KONTRAK
1.Sebelum jangka waktu kontrak
seperti yang tertulis pada pasal satu Surat Perjanjian ini berakhir,
PIHAK PERTAMA tidak dibenarkan meminta PIHAK
KEDUA untuk mengakhiri jangka waktu kontrak dan menyerahkan kembali lahan
tersebut kepada PIHAK PERTAMA kecuali telah disepakati oleh kedua belah pihak.
2.Selama
jangka waktu berlakunya Surat Kontrak ini, PIHAK KEDUA sama sekali
tidak dibenarkan untuk mengalihkan hak kepada PIHAK KETIGA dengan dalih
atau alasan apa pun juga tanpa ijin dan persetujuan tertulis dari PIHAK
PERTAMA.
Pasal Empat
PENYERAHAN BARANG HASIL PANEN
Pasal lima
KEUNTUNGAN
Keuntungan yang akan diterima PIHAK
KEDUA sebesar 2/3 dari pendapatan dan PIHAK PERTAMA 1/3 dari pendapatan
Pasal Enam
WANPRESTASI
Apabila PIHAK KEDUA melakukan
wanprestasi, maka PIHAK KEDUA bertanggung jawab atas masalah yang diakibatkan
atau direkayasa PIHAK KEDUA, dalam artian bukan akibat alam maka PIHAK KEDUA
berhak mengganti kerugian 75% dari modal seperti pembelian pupuk, biji, dsb.
Pasal Tujuh
FORCE MAJEUR
1. PIHAK PERTAMA
bertanggung jawab seluruhnya akibat dari kerusakan maupun kerugian yang
disebabkan seperti gagal panen karena adanya banjir, gempa bumi, tanah longsor,
petir, angin topan, kebakaran, huru-hara, hama sawah atau ladang.
2. PIHAK KEDUA dibebaskan dari
segala ganti rugi atau tuntutan dari PIHAK PERTAMA yang terjadi
akibat darikerusakan dalam kerjasamanyyang diakibatkan oleh force majeure.
Pasal Delapan
PERKIRAAN HASIL
PANEN
Penggarap
wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam akad
muzara’ah mutlak.
Pasal Sembilan
AHLI WARIS
(1) Penggarap
berhak melanjutkan akad muzara’ah jika tanamannya belum layak dipanen, meskipun
pemilik lahan telah meninggal dunia.
(2) Ahli
waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerjasama muzara’ah yang dilakukan oleh
pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bisa dipanen.
PasalSepuluh
KEBERLANJUTAN
KONTRAK
1.Apabila PIHAK PERTAMA
dan PIHAK KEDUA bermaksud melanjutkan perjanjian kontrak, maka
masing-masing pihak harus memberitahukan terlebih dahulu minimal 2 (Dua) bulan
sebelum jangka waktu kontrak berakhir.
2.PIHAK KEDUA mendapat
prioritas pertama dari PIHAK PERTAMA untuk
memperpanjang masa penyewaan
berikutnya sebelum PIHAK PERTAMA
menawarkan kepada calon-calon
penyewa lainnya.
Pasal Sebelas
ANTISIPASI
SENGKETA
PIHAK PERTAMA dan PIHAK
KEDUA bersepakat untuk menempuh jalan musyawarah dan mufakat untuk
menyelesaikan hal-hal atau perselisihan yang mungkin timbul sehubungan dengan
Perjanjian ini. Apabila jalan musyawarah dianggap tidak berhasil untuk
mendapatkan penyelesaian yang melegakan kedua belah pihak, maka kedua belah
pihak bersepakat untuk menempuh upaya hukum dengan memilih domisili pada
Pengadilan Agama Trenggalek.
.
Pasal Duabelas
JANGKA WAKTU
Surat Perjanjian ini ditandatangani
di Trenggalek pada hari Rabu, 1 November 2013 dan berlaku mulai tanggal
tersebut sampai dengan tanggal 30 April 2015.
Pasal Tigabelas
PENUTUP
Apabilaadapenambahanataukesalahandalamkontrak ini akandibicarakan dan diperbaharuidikemudianhari.
PIHAK PERTAMA
Citra Mulya Sari
|
PIHAK KEDUA
Dewi Sri Rahayu
|
SAKSI 1
Ayu Arina Rohmatin
|
SAKSI 2
Andik Khoirul Anam
|
|
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muzara’ah
adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapatkan sebagian hasilnya.
Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemilik tanah memberi hak mmengelola
tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Dalam
penetapan bagi hasil sering kali merugikan pihak pengelola atau petani karena
petani dalam posisi ini berada dalam posisi yang lemah, maka dari itu perlu
adanya kesadaran dari salah satu pihak terutama pihak pemilik tanah yang mana
tujuan dari muzara’ah ini salah satunya yakni tolong menolong bukan untuk
memperbudak seseorang demi mendapatkan keuntungan yang besar bagi dirinya
sendiri atau pemilik tanah.
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, kami mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang ikut andil wawasannya dalam penulisan ini.
Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
kami perhatikan. Semoga makah ini bermanfaat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Haroen Nasreon, Fiqih Muamalah, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2000
Lewis Mervvyn dan Algaoud latifa. Perbankan Syariah. PT.SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI. Jakarta :
2005.
Pasaribu, Chairuman, K.Lubis, Suhrawardi, Perjanjian
Dalam Islam, cet. Ke-2, Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, cet. Ke-6,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Zulkifli Sunarto.. Panduan
Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim Jakarta Timur Juli 2003.
[1]
Abdurrahman al-jaziri, Fiqih ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, hlm,1.
[2]
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),
hlm 153-155.
[3]
Sulaeman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1994).
[4] Lewis
Mervvyn dan Algaoud latifa. Perbankan
Syariah. PT.Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI. Jakarta : 2005, hlm.81
[5] Zulkifli
Sunarto.. Panduan Praktis Transaksi
Perbankan Syariah. Zikrul Hakim Jakarta Timur Juli 2003, hlm 56